NAHDLATUL WATHAN, VISI KEBANGSAAN
DAN ISLAM KULTURAL
Oleh : Paox Iben Mudhaffar
Ahad, 22 Agustus 1937 mungkin
adalah hari terpenting dalam sejarah kehidupan masyarakat Lombok. Dihari
pertama minggu ketiga bulan Jumadil akhir 1356 H itulah Al-Magfirullah Maulana
Syeikh TGH Zainuddin Abdul Majid mendirikan organisasi Islam bernama Nahdlatul
Wathan yang berarti Persatuan Kebangsaan. Itu berarti hanya berselang 25
Tahun setelah KH Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah di
Jogjakarta dan 10 tahun ketika Hadrotus Syeikh Al-Akbar Hasyim Asy’ari
mendirikan Nahdlotul Ulama di Jombang. Sebuah langkah yang sangat maju luar
biasa dalam konteks semangat kebangsaan saat itu dan akan dikenang oleh umat
muslim, khususnya di Indonesia hingga akhir zaman. Betapa tidak, melalui
persyarikatan yang memiliki makna Kebangkitan Bangsa tersebut nilai-nilai
kebangsaan mendapat ruang dalam pemahaman keIslaman bahkan jauh sebelum
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Situasi dunia akhir abad 19 atau
awal abad ke 20 itu memang penuh pergolakan. Kolonialisme yang sudah bercokol
ratusan tahun pasca perang salib itu sedang mendekati sekarat dan mendapat
perlawanan yang luar biasa dari masyarakat terjajah khususnya di Asia dan
Afrika yang mayoritas berpenduduk Islam. Mereka berjuang dengan berbagai cara,
masyarakat Islam terutama, melakukan perlawanan dengan mengobarkan perang sabil
seperti yang dilakukan oleh sebagian besar bangsa arab, di Afrika utara atau
seperti yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro dan Masyarakat Aceh di
Nusantara.
Memasuki abad ke 20, metode
perjuanganpun banyak mengalami perubahan, terutama bukan saja bagaimana
mengusir bangsa-bangsa asing yang dianggap kafir, tetapi juga bagaimana
mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan akibat penjajahan itu. di dunia
islam kita mengenal gerakan Pan Islamisme ala Jamaludin al-Afgani yang disebut
sebagai Bapak Islam Modern atau Muhammad Abduh yang mengilhami berdirinya
persyarikatan Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama di Indonesia. Melalui perjuangan
panjang itu sebagian mampu memerdekaakan diri, namun sebagian besar kebingungan
merumuskan paham baru kebangsaan. Ada yang masih berkutat dengan paham lama
Monarkhisme, ada pula yang mencari bentuk baru seperti paham Negara bangsa
dengan segala variannya.
Saya bayangkan kehidupan masa
muda Maulana Syeikh—yang memiliki nama kecil Muhammad Asegaff yang berarti
tukang memperbaiki genting itu,--terutama ketika beliau belajar di Saudi Arabia
1910-an itu selalu diliputi kegelisahan memikirkan nasib masyarakatnya,
bangsanya, yang masih berada dalam cengkraman kolonialisme. Kehidupan Kota
makkah saat itu, yang didatangi oleh umat islam dari berbagai penjuru dunia
untuk melaksanakan ibadah haji, umrah maupun menuntut ilmu memang sangat
kondusif untuk merumuskan paham perjuangan. Kakek saya yang ikut pergi haji
orang tuanya pada umur belasan tahun pada tahun 1930-an sering bercerita bahwa
di Kota Makkah, terutama dilingkaran Masjidil haram banyak dipenuhi
halaqoh-halaqoh diskusi yang diikuti oleh pemuda dari berbagai bangsa yang
belajar menuntut ilmu di sana. Mereka tentu tak hanya belajar ilmu keagamaan,
mereka terbiasa saling berdiskusi berbagi pengalaman tentang kondisi sosial
diwilayah masing-masing dan bagaimana mencari solusi pemecahannya. sebab apa
artinya menuntut ilmu tinggi-tinggi dan jauh-jauh jika tak berguna untuk
situasi actual yang dihadapi banyak bangsa islam yang masih berada dalam
kungkungan tuan kolonialis saat itu?
Di sela-sela kesibukan mengaji
ilmu agama serta menulis berbagai tafsir serta syair perenungan hidup dan
keimanan itulah beliau terus berpikir tentang kondisi social, budaya dan
keterbelakangan yang dihadapi bangsanya. Maka ketika pulang kampung, beliaupun
langsung berkiprah dimasyarakat dengan mendirikan Pesantren Al-Mujahidin pada
1934 M. Pada 15 Jumadil Akhir 1356 H/ 22 Agustus 1937 M didirikanlah Madrasah
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI. Madrasah ini konon merupakan madrasah
pertama di Pulau Lombok dan menjadi cikal bakal dari semua madrasah yang
bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan.
Sejak awal mendirikan pondok
pesantren tersebut, Maulanasyeikh menanamkan semangat keislaman dan kebangsaan
pada murid-muridnya. Beliau juga cukup aktif berdakwah hingga kepelosok kampung
dan mendirikan berbagai amal usaha khususnya bidang pendidikan, sosial, dan
pemberdayaan umat. Beliau memang sosok yang sangat istimewa. Semasa hidupnya,
Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid juga berkiprah dalam banyak
bidang. Beliau pernah menduduki berbagai jabatan, baik di lembaga legislatif
dan keagamaan. Selain itu, dalam usia yang mencapai satu abad, tercatat puluhan
karya yang dihasilkannya.
Meskipun tidak mendapat gelar
pahlawan nasional tetapi beliau adalah sosok pahlawan yang sebenarnya. Bukan
hanya bagi masyarakat Lombok tetapi untuk bangsa Indonesia pada umumnya dan
masyarakat Islam di seluruh dunia. Namanya termashyur diseluruh jagad, terutama
didunia islam melalui berbagai kiprahnya seperti yang diungkapkan oleh Sayyid
Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki Al-Makki, seorang ulama besar Kota Suci Makkah
“Tidak ada seorang pun ahli ilmu di Kota Suci Makkah Al-Mukarramah, baik
thullab maupun ulama yang tidak kenal akan kehebatan dan ketinggian ilmu Syekh
Zainuddin. Syekh Zainuddin adalah ulama besar yang tidak hanya milik umat Islam
Indonesia, tetapi juga milik umat Islam sedunia," ujarnya.
NW Antara Gerak
Puritan dan Semangat Kultural
Maulana Syeikh TGKH Zainuddin
Abdul Majid sadar betul bahwa bahwa masyarakat Lombok khususnya masyarakat
Sasak jauh tertinggal dari masyarakat lainnya terutama selain karena penjajahan
oleh Belanda, Pulau Lombok saat itu juga dikuasai oleh warisan kerajaan
Karangasem Bali yang notabene beragama Hindu. Jika dalam masyarakat Hindu Bali
mengenal empat kasta, bisa dibayangkan bagaimana kedudukan masyarakat Sasak
pada umumnya dalam system ekonomi, politik, social dan kebudayaan yang penuh
penindasan itu. Oleh karena itu diperlukan kiat-kiat tersendiri bagaimana
mengusung dakwah yang lebih sesuai dengan karakteristik masyarakat Lombok,
khususnya masyarakat Sasak.
Beliau yang saat itu baru pulang
dari negeri Arab, tentu sangat dipengaruhi oleh perkembangan situasi dimana
berbagai paham cukup “seksi” saat itu seperti modernisme dalam islam yang
dipelopori oleh Jamaludin al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho atau
aliran yang cukup keras seperti Wahabi yang berkembang luas mempengaruhi para
santri ditanah suci. Tetapi Beliau yang belajar tafsir dan sastra saat itu
tidak serta merta menggunakan pendekatan puritanistik, normatif dan tekstualis
yang cenderung kaku dalam metode dakwahnya. Beliau terjun langsung
ketengah-tengah masyarakat, berceramah diperkampungan-perkampungan dengan
bahasa yang dikenali dan mudah dipahami oleh masyarakat sehari-hari. Merangkul
mereka, untuk lebih memahami persoalan yang dihadapi dengan cara yang cukup
“lumrah” sesuai dengan yang disyariatkan agama Islam.
Menurut para tetua adat di
Sembalun dan Bayan misalnya, sejak dari masa muda Beliau sudah sering berdakwah
dikedua tempat itu meskipun saat itu kondisinya masih sangat rawan dan harus
melewati jalan setapak menerobos hutan yang sangat lebat. Maulana Syeikh adalah
seorang orator yang ulung serta sangat cerdas dalam berdiskusi. Beliau juga
sangat mengenal karakteristik masyarakat sehingga mampu mengangkat
kearifan-kearifan local dalam metode dakwahnya. Bagaimana misalnya, Mitos Dewi
Anjani yang merupakan warisan hindu itu mampu beliau gunakan untuk memperkuat
keislaman dan menggiring kepada pemahaman ketauhidan.
Maulana Syeikh juga menyadari
bahwa pendidikan adalah salah satu kunci utama bagaimana umat Islam bisa
bangkit dari keterpurukan terutama akibat penjajahan yang berkepanjangan
tersebut, maka beliaupun membangun pesantren selain sebagai basis kegiatan
keagamaan juga untuk mempersiapkan kader-kader yang tangguh.Almagfirullah TGKH
Juaini dari Tanak Beak misalnya, pernah mengemukakan bahwa sebagai murid
pertama maulana Syeikh beliau ditugaskan langsung untuk berdakwah di wilayah
Narmada yang merupakan daerah basis Hindu. Begitu juga dengan santri-santri
yang lain disebar keseluruh penjuru pulau Lombok. Sebelum mereka berhasil
mendirikan pesantren, tentu harus “berjibaku” terlebih dahulu dengan kehidupan
social kemasyarakatan yang tentu saja tidak mudah. Namun berbekal ilmu
keagamaan dan ilmu kehidupan yang mereka timba dari Pancor, terutama melalui
persinggungan secara pribadi melalui keteladanan yang dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari oleh maulana syeikh, merekapun mampu mengatasi keadaan.
Alhasil pesantren-pesantren NW dan amal usaha lainnya tersebar diseluruh
pelosok pulau Lombok serta terus berkembang hingga hari ini.
Dalam konteks pendidikan,
pesantren NW tidak hanya bergerak dalam bidang pengajaran formal tetapi juga
melakukan intervensi (positif) dalam kehidupan social kemasyarakatan. Predikat
Tuan Guru yang secara tradisional melekat kepada mereka yang memimpin Pondok
pesantren biasanya juga muncul karena peran serta dan ketokohannya dalam
kehidupan kemasyarakatan. Sebutan Tuan Guru adalah gelar mulia bagi mereka yang
memiliki kualitas keilmuan (agama dan umum) serta kearifan yang mampu menjawab
persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan keseharian.
Untuk menghadapi masyarakat yang sering terlibat dalam
kekerasan serta bekubang dalam kejahatan seperti para pencuri dan perampok di
Lombok selatan, Almagfirullah TGH Abdul Majid dari Beleka Lombok Tengah,
misalnya, diawal kiprahnya beliau tidak serta merta membangun masjid atau
pesantren untuk kegiatan berdakwahnya tetapi justru membuat pasar. Hal tersebut
tentu sangat kontekstual dan menjawab kebutuhan masyarakat. Demikianlah
peran dan ketokohan para Tuan guru diteguhkan oleh masyarakat dalam kehidupan
keseharian.
Memikirkan
Kembali Visi Kebangsaan
Meskipun saat ini boleh dibilang
NW hanya berkembang Di Pulau Lombok, namun dengan pengikut lebih dari 2 juta
orang yang tersebar diseluruh dunia tentu keberadaannya tidak bisa dianggap
remeh. Jika kita menilik dari semangat awal ketika Maulana Syeikh mendirikan
organisasi ini 76 yang lalu, NW bukanlah organisasi atau lembaga yang berwatak
lokal. NW lahir dalam sebuah gelora semangat kebangsaan untuk menjunjung tinggi
harkat dan martabat kehidupan melalui paham ke-Islaman yang bercirikan
ketauhidan.
Sebagai organisasi yang cukup
besar NW senantiasa dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah untuk
dilalui terutama berkaitan dengan persoalan ekonomi, social dan… tentu saja
politik. Secara internal NW dituntut untuk memiliki system menejemen yang lebih
baik, terutama menyangkut keorganisasian dan pengelolaan amal usaha yang lebih
akuntable untuk mendukung visi dan misinya. Dan di luar persoalan
internal keorganisasian tersebut, NW dihadapkan pada sebuah tantangan besar,
bagaimana mengahadapi situasi kekinian terutama dalam konteks kebangsaan atau
ke Indonesiaan yang tengah mengalami berbagai krisis ini. Mampukah kader-kader
NW, melalui berbagai kiprahnya dan amal usaha yang dimiliki oleh organisasi
menjawab tantangan zaman tersebut?
Bersambung… (1 dari 2 tulisan)
Use this diet hack to drop 2 lb of fat in just 8 hours
BalasHapusOver 160 000 women and men are losing weight with a easy and secret "liquid hack" to burn 2 lbs each and every night as they sleep.
It is very easy and it works every time.
Here's how to do it yourself:
1) Take a glass and fill it up half glass
2) Now do this amazing HACK
so you'll be 2 lbs lighter when you wake up!