Pages

Selasa, 06 Februari 2018

Menjajal Negeri Sakura #1

Menjajal Jepang #1
Negeri impian masa kecil saya—Jepang. Semuanya bermula sejak saya sering menonton film animasi setiap hari Ahad, nongkrong di depan TV. Banyak film berlatar Jepang, apalagi yang bertema samurai dan ninja... terasa begitu seru dan berkesan 🤭

Sejak saat itu, saya sangat berkeinginan untuk bisa mengunjungi negeri yang dijuluki Negeri Sakura dan Negeri Matahari Terbit ini. Negara yang kaya akan budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan adab yang luar biasa.

Saya sudah bosan hanya membaca dan mendengarkan tentang kelebihan negeri sakura ini. Dalam hati, saya sudah meniatkan: cepat atau lambat, saya harus menginjakkan kaki di sana. Saya ingin tahu seperti apa kehidupan nyata di Negeri Matahari Terbit itu.

Saat menjadi mahasiswa pascasarjana di UGM, saya mendapat kesempatan mengikuti konferensi internasional di Jepang melalui beasiswa LPDP. Sayangnya, setelah saya submit paper, saya mengalami kendala dalam pengurusan visa. Waktu itu sudah masuk libur menjelang lebaran.

Karena paspor saya masih paspor biasa, saya tidak bisa mengurus visa di provinsi tempat saya kuliah. Visa hanya bisa diproses di kedutaan besar Jepang sesuai domisili KTP. Sedangkan jadwal konferensi tinggal seminggu lagi setelah lebaran. Qadarullah, saya gagal menyelesaikan urusan administrasi, dan otomatis gagal terbang ke Jepang. Sebagai gantinya, saya mengikuti konferensi di Thailand. Paper saya lolos, dan saya pun harus mengubur mimpi ke Jepang… hiks, cukup miris rasanya.

Tapi saya tidak berhenti di situ. Keinginan saya untuk ke Jepang masih membara.

Menjelang wisuda, saya mendapatkan dana reward yang menurut saya cukup besar. Saya pun bingung—apakah uang ini digunakan untuk menikah atau mewujudkan mimpi ke Jepang? Setelah mempertimbangkan berbagai saran dan masukan dari sahabat-sahabat, akhirnya saya memutuskan: saya akan ke Jepang.

Saya mulai mengurus berkas, kelengkapan administrasi, dan memesan tiket PP dari Jakarta ke Osaka via Kansai International Airport.


Hal paling penting yang harus disiapkan tentu saja visa. Karena dulu saya masih menggunakan paspor biasa, saya harus mengurus visa di Kedutaan Jepang terdekat sesuai dengan KTP, yaitu di Bali. Banyak persyaratan visa yang harus dilengkapi: tiket pulang-pergi, itinerary perjalanan, saldo tabungan minimum, tempat penginapan, dan lainnya.

Karena saya merasa cukup repot mengurus semua itu, saya memilih jalan pintas: mengganti paspor biasa menjadi e-paspor. Saya mendaftar antrean pembuatan e-paspor lewat aplikasi resmi, lalu datang ke Kantor Imigrasi Jakarta Barat, dekat Kota Tua.

Biaya pembuatan e-paspor saat itu Rp650 ribu, dan prosesnya sekitar 10 hari kerja. Setelah e-paspor jadi, saya langsung mendaftar visa waiver di Kedutaan Jepang.

Kedubes Jepang dijaga sangat ketat. Tidak boleh mengambil foto, dan sangat steril dari gangguan. Antrian tidak terlalu panjang. Saya menyerahkan e-paspor, dan diberitahu bahwa bisa diambil keesokan harinya pada jam kerja siang.

Besok siangnya, saya kembali ke Kedubes untuk mengambil e-paspor yang sudah didaftarkan visa waiver. Lalu saya mulai booking tiket pesawat dan hotel lewat aplikasi Traveloka dan Booking.com.

Alhamdulillah, saya dapat promo. Biayanya di luar dugaan—kurang dari 5 juta rupiah sudah termasuk tiket pulang-pergi dan penginapan hotel.

Saya juga menyiapkan uang saku dalam bentuk yen. Saat itu kurs dolar sedang naik, jadi nilai tukar ke yen tidak terlalu tinggi. Saya juga mempersiapkan barang-barang penting seperti pakaian, makanan, dan lainnya. Mengingat harga makanan di Jepang lumayan mahal dan sulit menemukan makanan halal, saya bawa bekal secukupnya.

Saya berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta menuju Kansai International Airport, Osaka. Sebuah bandara super megah di tengah lautan. Canggih bener ini Jepang. Ukurannya sangat besar dan luas dilengkapi fasilitas modern.

Dalam perjalanan, saya duduk bersama para bule dan menonton film. Penerbangan ini memakan waktu cukup lama.

Sesampainya di Osaka malam hari, saya langsung menuju bagian imigrasi. Karena ini adalah kunjungan pertama saya ke Jepang, petugas imigrasi cukup ketat dan banyak bertanya.

Saya mengalami kendala karena beberapa dokumen perjalanan lupa saya bawa dan cetak. Untungnya, ada teman saya yang sedang kuliah di Kyoto University, Mas Heru, yang membantu melobi petugas imigrasi. Alhamdulillah, berkat bantuannya saya bisa keluar dari bandara dengan aman. Terima kasih banyak Mas Heru, semoga sehat selalu dan studi masternya lancar.

Setelah itu, saya mencari musala terdekat yang berada di lantai 2 (cmiiw). Mushalanya cukup luas dan tersedia referensi buku berbahasa Indonesia. Saya melaksanakan salat jamak Magrib dan Isya di sana sebelum melanjutkan perjalanan ke pusat kota Osaka.


1. Menjajal Osaka


Dari Bandara Kansai, saya langsung membeli tiket kereta menuju hotel yang sudah saya pesan jauh-jauh hari saat masih di Indonesia. Kalau tidak salah, harga tiketnya sekitar 900 yen.

Di hari pertama saya berada di Osaka, saya langsung menjajal destinasi ikonik kota ini: Istana Osaka. Konon katanya, tempat ini merupakan simbol kebanggaan masyarakat Osaka.

Di sini, saya bisa melihat bagaimana budaya Jepang begitu lekat dengan tatanan kota yang rapi, bersih, dan sangat mengesankan. Istana Osaka berdiri megah, tetap kokoh sejak ratusan tahun yang lalu. Nilai sejarahnya terasa kuat, dan lingkungannya sangat terawat.

Saran saya, kalau ingin menjelajahi tempat-tempat wisata di Jepang, manfaatkan Wi-Fi gratis yang tersedia di berbagai tempat umum seperti stasiun, taman, atau pusat perbelanjaan. Tinggal nyalakan Wi-Fi dan kita bisa dengan mudah mencari informasi lokasi wisata, rute transportasi, atau tempat makan halal terdekat melalui ponsel.

Selain itu, di dekat tempat-tempat wisata biasanya juga tersedia banyak brosur dan buletin berisi informasi menarik. Jangan ragu untuk mengambilnya sebagai panduan selama perjalanan. Banyak juga yang tersedia dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris.


Pastikan pakaian yang dibawa cukup untuk menghangatkan tubuh, apalagi jika datang di musim dingin atau peralihan musim. Datanglah di waktu yang tepat sesuai musim yang diinginkan, agar lebih mudah menyesuaikan diri dengan cuaca dan aktivitas yang ingin dilakukan.

Selama di Jepang, saya menikmati begitu banyak hal. Rasanya sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Saya benar-benar merasa seperti sedang menjalani mimpi masa kecil saya.
Impian untuk menginjakkan kaki di Negeri Sakura akhirnya menjadi nyata.

1 komentar:

  1. As reported by Stanford Medical, It's really the one and ONLY reason this country's women get to live 10 years more and weigh 19 kilos lighter than we do.

    (And actually, it has NOTHING to do with genetics or some secret diet and absolutely EVERYTHING to do with "how" they eat.)

    BTW, I said "HOW", not "WHAT"...

    Click on this link to discover if this brief questionnaire can help you discover your real weight loss potential

    BalasHapus

Syukron Katsir Telah berkunjung di My Blog Rizal EnsyaMada_@Rizal_EsnyaMada