MASALAH DALAM DUNIA
PENDIDIKAN dan SOLUSINYA
1. PENGANTAR
Kualitas pendidikan di
Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO
(2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development
Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan,
dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political
and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia
berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di
bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia
(2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan
ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari
lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan
sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia
yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di
Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di
Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA
ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Diploma Program (DP).
Apa makna data-data tentang
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia ityu? Maknanya adalah, jelas ada something
wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara
perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai
masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu :
Pertama, masalah mendasar, yaitu
kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran
sistem pendidikan.
Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu
berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya
prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan
sebagainya.
Walhasil, jika pendidikan kita
diumpamakan mobil, mobil itu berada di jalan yang salah yang –sampai kapan
pun-- tidak akan pernah menghantarkan kita ke tempat tujuan (masalah
mendasar/paradigma).
Di samping salah jalan, mobil
itu mengalami kerusakan dan gangguan teknis di sana-sini : bannya kempes,
mesinnya bobrok, AC-nya mati, lampu mati, dan jendelanya rusak (masalah
cabang/praktis).
2. MASALAH MENDASAR : SEKULARISME SEBAGAI
PARADIGMA PENDIDIKAN
Jarang ada orang mau mengakui
dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik.
Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003
pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, "Pendidikan nasional bertujuan membentuk
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan
berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah
air."
Tapi perlu diingat,
sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti
"iman" dan anti "taqwa". Sekularisme itu hanya menolak
peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi,
selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijadikan asas untuk menata
kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu
tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu
beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu).
Sesungguhnya diakui atau
tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik.
Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI
tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang
berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
advokasi, keagaman, dan khusus.
Dari pasal ini tampak jelas
adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem
pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih
yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan
melalui penguasaan sains dan teknologi.
Secara kelembagaan,
sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut
agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan
umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi
umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat
kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas
dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter
siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang
tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang
perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.
Hal ini juga tampak pada BAB X
pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah
yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama
yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang
lainnya.
Ini jelas tidak akan mampu
mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional
sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang
kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang
semestinya bagi proses penguasaan tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian
Islam.
Pendidikan yang
sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang pandai yang menguasai
sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi,
pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan
penguasaan tsaqâfah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang
tetap saja ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang
belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqâfah Islam
dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi
lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.
Akhirnya, sektor-sektor modern
(industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang
relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di
dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mampu terjun di
sektor modern.
Jadi, pendidikan sekular
memang bisa membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau
perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan
melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk
lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat
moral. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular.
Mari kita lihat contoh negara
Amerika atau negara Barat lainnya. Ekonomi mereka memang maju, kehidupan
publiknya nyaman, sistim sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap
peraturan publik tinggi.
Tapi, perlu ingat bahwa agama
ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama
tidak boleh bersifat publik. Hari raya Idul Adha tidak boleh dirayakan di
lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon. Pelajaran agama tidak saja absen di
sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan sholat 5
waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak
melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam
kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.
Sistem pendidikan yang
material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari
sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem
sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah
secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang
pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah
berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.
3. MASALAH-MASALAH CABANG
Masalah-masalah cabang yang
dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan,
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini
tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai
berikut :
3.1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya,
banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak,
kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas
(2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung
25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas
tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62%
mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan
berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena
kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di
SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
3.2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga
amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang
memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No
20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan
penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru
di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut
kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb:
untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk
SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas
berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang
Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000
guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar
bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru
mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan
tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta
rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta.
guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10
ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi
les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS,
pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan
Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU
itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan
guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan
kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah
kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat
9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak
sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan
Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
3.4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian
itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic
and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di
ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37
dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh
di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15
September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga
telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di
seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004.
Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177
negara. Apabila dibanding
dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia
(Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of
Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa
kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk
siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina),
dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata
hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan
mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International
Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999)
memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2
Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia
pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang
disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya
mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
3.5. Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada
tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat
Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni
(APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa).
Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan
di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan
pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya
tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat
untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut
3.6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat
dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan
sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh
lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%,
sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi
untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut
data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus
sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah
ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan
kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional
terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia
kerja.
3.7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal.
Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja
saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang
memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5
juta.
Makin mahalnya biaya
pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya
unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki
akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk,
segala pungutan uang selalu berkedok, "sesuai keputusan Komite
Sekolah". Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena
yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang
dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator
kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan
tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk
dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status
pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara
mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun
berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah
beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak
pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin
melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan
utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri
Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor
pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan
besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga
tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82%
yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar
hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana
Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan,
seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
Seperti halnya perusahaan,
sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional
pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti
Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi
pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan
begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat
ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda
Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor
lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU
BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan
kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber
dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu,
beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus
mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang
bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang
tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi
persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci
tangan’.
4. SOLUSINYA
4.1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar
tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan
melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma
pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.
Ibarat mobil yang salah jalan,
maka yang harus dilakukan adalah : (1) langkah awal adalah mengubah haluan atau
arah mobil itu terlebih dulu, menuju jalan yang benar agar bisa sampai ke
tempat tujuan yang diharapkan. Tak ada artinya mobil itu diperbaiki
kerusakannya yang macam-macam selama mobil itu tetap berada di jalan yang
salah. (2) Setelah membetulkan arah mobil ke jalan yang benar, barulah mobil
itu diperbaiki kerusakannya yang bermacam-macam.
Artinya, setelah masalah
mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan
diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru,
kesejahteraan gutu, prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan, relevansi
pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas
sekularisme diubah menjadi asas Islam, bukan asas yang lain.
Bentuk nyata dari solusi
mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara
menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar yang wajib
diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan
itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan,
seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
4.2. Solusi Masalah-Masalah
Cabang
Seperti diuraikan di atas,
selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami
masalah-masalah cabang, antara lain :
(1). Rendahnya sarana
fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan gutu,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Untuk mengatasi
masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan
mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti
diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang
diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam
konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip
antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik,
termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk
masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan
–seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya
pendidikan-- berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan
sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer
sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib
dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa
pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang
menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan
masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk
masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
5. SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Seperti diungkapkan di atas,
sistem pendidikan Islam merupakan solusi mendasar untuk mengganti sistem
pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran sistem pendidikan Islam
tersebut? Berikut uraiannya secara sekilas.
5.1. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan
upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk
membentuk manusia yang berkarakter, yakni:
Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan
konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua
aspek yang fundamental, yaitu pola pikir ('aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah)
yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan
kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh,
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
1. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang
dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai 'aqîdah
'aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
2. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah
pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan
berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
3. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah
terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh
mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan
kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam
telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan
takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori,
yaitu:
1. Ilmu yang termasuk fardhu 'ain (kewajiban
individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah
Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab;
sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih,
dll.
2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah
(kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi
serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran,
pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai
kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah
Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai
fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti
kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki keterampilan yang
memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan
keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang
harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan
penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan
tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan,
pertukangan, dan lainnya.
5.2. Pendidikan Islam Adalah Pendidikan Terpadu
Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah
sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem
pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan
yang unggul.
Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu :
Pertama, sinergi
antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus
melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan
kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum
berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum
berfungsi secara benar.
Buruknya pendidikan anak di
rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan
persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks
bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang
buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di
tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika
pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah
kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai
dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas
dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada
setiap jenjangnya.
Selain muatan penunjang proses
pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari
tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK,
keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya
serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya
masing-masing.
Pada tingkat dasar atau
menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat
mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang
mengikutinya.
Khalifah Umar bin
al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya,
menuliskan, "Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan
menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair
yang baik."
Khalifah Hisyam bin Abdul
Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, "Sesungguhnya
anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya.
Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya
mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian
hapalkan kepadanya al-Quran…"
Di tingkat Perguruan Tinggi
(PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi
sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat
diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh.
Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan
bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami
cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah
Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal
di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal
di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.
5.3. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab
Negara
Islam merupakan sebuah sistem
yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap
solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam
konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban
untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang
diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara
mudah. Rasulullah saw. bersabda:
Imam (Khalifah) adalah
pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw.
terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang
Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang
penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang
tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama
nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah
menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang
seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada
para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi
milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara
bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.
Imam Ibnu Hazm, dalam
kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah)
berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang
digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam,
kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan
rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam
ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha' yang
menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar
anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka
masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).
Perhatian para khalifah tidak
hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan
seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan
Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan
oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para
ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini
mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta,
kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan
itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji
para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan
peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada
masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan
yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas
seberat buku yang ditulisnya.
6. PENUTUP
Wahai kaum Muslim, apakah
sistem pendidikan sekuler yang rusak dan bobrok saat ini akan terus kita
pertahankan? Apakah sistem pendidikan yang buruk lagi gagal ini akan terus kita
lestarikan?
Marilah kita bergegas
membangun sistem pendidikan Islam, dalam negara Khilafah, yang akan melahirkan
generasi yang berkepribadian Islam. Generasi inilah yang akan mampu mewujudkan
kemakmuran dan kemuliaan peradaban manusia di seluruh dunia. Wallâhu a‘lam
bi ash-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar