A.
TUJUAN PENDIDIKAN
Tujuan
Pendidikan akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Disamping itu
pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu
kehidupan dan martabat manusia indonesia. Tujuan pendidikan dapat dilihat
dari dua sudut pandang yaitu menurut islam dan tujuan pendidikan secara umum.
A. Tujuan Pendidikan Dalam Islam
Tujuan
pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam
lebih mengutamakan akhlak. Secara lebih luas pendidikan islam bertujuan untuk
- Pembinaan
Akhlak
- Penguasaan
Ilmu
- Keterampilan
bekerja dalam masyarakat
- Mengembangkan
akal dan Akhlak
- Pengajaran
Kebudayaan
- Pembentukan
kepribadian
- Menghambakan
diri kepada Allah
- Menyiapkan
anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat
B. Tujuan Pendidikan Secara Umum
Tujuan
pendidikan secara umum dapat dilihat sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan terdapat dalam UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman
dan dan bertagwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
2. Tujuan
Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu Meningkatkan
kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju,
tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional
serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa
patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat
kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan
sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
3. TAP MPR No
4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan
atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia
pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan
rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan
kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh
tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi
pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai
dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.
4. UUD 1945 (versi
Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang."
5. UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam
Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab."
Tujuan Pendidikan baik secara islam dan umum
hampir memiliki kesamaan yaitu mendapatkan kesuksesan. Apabila digabungkan maka
tujuan pendidikan adalah upaya untuk meraih kesuksesan hidup di dunia dan
akherat.
B.
UU SISDIKNAS ( SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL )
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a.
bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
mengamanatkan
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
social.
b.
bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang
Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang
diatur dengan undang-undang;
c.
bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan
untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan
lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan
pendidikan
secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;
d.
bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
tidak
memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan
amanat
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d
perlu
membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Mengingat :
Pasal
20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
2.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai
agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan
zaman.
3.
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling
terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi
diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan
tertentu.
5.
Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan
diangkat
untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
6.
Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain
yang
sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan.
7.
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan
potensi
diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
8.
Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan
tingkat
perkembangan
peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang
dikembangkan.
9.
Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan
pendidikan
suatu satuan pendidikan.
10.
Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan
pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis
pendidikan.
11.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
12.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat
dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang.
13.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14.
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada
anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani
dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15.
Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari
pendidik
dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui
teknologi
komunikasi, informasi, dan media lain.
16.
Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan
kekhasan
agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai
perwujudan
pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
17.
Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan
di
seluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18.
Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga
negara
Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
19.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
20.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar
pada suatu lingkungan belajar.
21.
Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan
mutu
pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang,
dan
jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan
pendidikan.
22.
Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan
berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan.
23.
Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam
penyelenggaraan
pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana,
sarana,
dan prasarana.
24.
Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur
masyarakat
yang peduli pendidikan.
25.
Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang
tua/wali
peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli
pendidikan.
26.
Warga negara adalah warga negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara
Kesatuan
Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
27.
Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang
mempunyai
perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28.
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
29.
Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau
pemerintah
kota.
30.
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
BAB II
DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN
Pasal 2
Pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun 1945.
Pasal 3
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung
jawab.
BAB III
PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Pasal 4
(1)
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural,
dan kemajemukan bangsa.
(2)
Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka
dan multimakna.
(3)
Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4)
Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan,
dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5)
Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis,
dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6)
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
layanan
pendidikan.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,
ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 5
(1)
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang
bermutu.
(2)
Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau
sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus.
(3)
Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil
berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
(4)
Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh
pendidikan khusus.
(5)
Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan
sepanjang
hayat.
Pasal 6
(1)
Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti
pendidikan dasar.
(2)
Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan
pendidikan.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Orang Tua
Pasal 7
(1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan
dan memperoleh
informasi
tentang perkembangan pendidikan anaknya.
(2)
Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan
dasar
kepada
anaknya.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 8
Masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi
program pendidikan.
Pasal 9
Masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 10
Pemerintah
dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan
mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku.
Pasal 11
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara
tanpa diskriminasi.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
dengan
lima belas tahun.
BAB V
PESERTA DIDIK
Pasal 12
(1)
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a.
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan
oleh pendidik yang seagama;
b.
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya;
c.
mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu
membiayai
pendidikannya;
d.
mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu
membiayai
pendidikannya;
e.
pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang
setara;
f. menyelesaikan
program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masingmasing
dan
tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
(2)
Setiap peserta didik berkewajiban:
a.
menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses
dan
keberhasilan pendidikan;
b.
ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta
didik
yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
(3)
Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4)
Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1)
Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang
dapat
saling
melengkapi dan memperkaya.
(2)
Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan sistem
terbuka
melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
Pasal 14
Jenjang
pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan
tinggi.
Pasal 15
Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan,
dan khusus.
Pasal 16
Jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan
yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Bagian Kedua
Pendidikan Dasar
Pasal 17
(1)
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan
menengah.
(2)
Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau
bentuk
lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah
tsanawiyah
(MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(3)
Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Pendidikan Menengah
Pasal 18
(1)
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
(2)
Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan
menengah
kejuruan.
(3)
Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah
(MA),
sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK),
atau
bentuk lain yang sederajat.
(4)
Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Pendidikan Tinggi
Pasal 19
(1) Pendidikan
tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah
yang
mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan
doktor
yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
(2)
Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
Pasal 20
(1)
Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut,
atau
universitas.
(2)
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian
kepada masyarakat.
(3)
Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau
vokasi.
(4)
Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 21
(1)
Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak
menyelenggarakan
program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik,
profesi,
atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
(2)
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan
tinggi
dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(3)
Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari
perguruan
tinggi
yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(4) Penggunaan
gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya
dibenarkan
dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang
bersangkutan.
(5)
Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan
perguruan
tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenakan
sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.
(6)
Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara
pendidikan
yang tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1) atau penyelenggara
pendidikan
yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dinyatakan
tidak sah.
(7)
Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih
lanjut
dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 22
Universitas,
institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan
gelar
doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak
memperoleh
penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang
ilmu
pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.
Pasal 23
(1)
Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau
profesor
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan
masih
aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Pasal 24
(1)
Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada
perguruan
tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik
serta
otonomi keilmuan.
(2)
Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai
pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat.
(3)
Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang
pengelolaannya
dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.
(4)
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 25
(1)
Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar
akademik,
profesi, atau vokasi.
(2)
Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar
akademik,
profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
(3)
Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik,
profesi,
atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kelima
Pendidikan Nonformal
Pasal 26
(1)
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat.
(2)
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan
pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan
sikap dan kepribadian profesional.
(3)
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan,
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,
serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.
(4)
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok
belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta
satuan
pendidikan yang sejenis.
(5)
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan,
keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan
diri,
mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan
pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi.
(6)
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan
formal
setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk
oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan.
(7)
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur
lebih
lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keenam
Pendidikan Informal
Pasal 27
(1)
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
berbentuk
kegiatan belajar secara mandiri.
(2)
Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan
pendidikan
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan
standar
nasional pendidikan.
(3)
Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud
pada
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pendidikan Anak Usia Dini
Pasal 28
(1)
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
(2)
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal,
nonformal,
dan/atau informal.
(3)
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman
kanakkanak
(TK),
raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
(4)
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok
bermain
(KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
(5)
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan
keluarga
atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
(6)
Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pendidikan Kedinasan
Pasal 29
(1)
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
departemen
atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(2)
Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam
pelaksanaan
tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu
departemen
atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(3)
Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan
nonformal.
(4)
Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kesembilan
Pendidikan Keagamaan
Pasal 30
(1)
Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat
dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat
yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau
menjadi ahli ilmu agama.
(3)
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal,
dan informal.
(4)
Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5)
Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Pendidikan Jarak Jauh
Pasal 31
(1)
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan.
(2)
Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok
masyarakat
yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
(3)
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan
yang
didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang
menjamin
mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(4)
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Kesebelas
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Pasal 32
(1)
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan
dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(2)
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah
terpencil
atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami
bencana
alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
(3)
Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan
khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan
pemerintah.
BAB VII
BAHASA PENGANTAR
Pasal 33
(1)
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam
pendidikan
nasional.
(2)
Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal
pendidikan
apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau
keterampilan
tertentu.
(3)
Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan
tertentu
untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
BAB VIII
WAJIB BELAJAR
Pasal 34
(1)
Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal
pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(3)
Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh
lembaga
pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4)
Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB IX
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
Pasal 35
(1)
Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi
lulusan,
tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian
pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2)
Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum,
tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3)
Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan
pencapaiannya
secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi,
penjaminan,
dan pengendalian mutu pendidikan.
(4)
Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB X
KURIKULUM
Pasal 36
(1)
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2)
Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi
sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
(3)
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a.
peningkatan iman dan takwa;
b.
peningkatan akhlak mulia;
c.
peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d.
keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e.
tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f.
tuntutan dunia kerja;
g.
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h.
agama;
i.
dinamika perkembangan global; dan
j.
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(4)
Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 37
(1)
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a.
pendidikan agama;
b.
pendidikan kewarganegaraan;
c.
bahasa;
d.
matematika;
e.
ilmu pengetahuan alam;
f.
ilmu pengetahuan sosial;
g.
seni dan budaya;
h.
pendidikan jasmani dan olahraga;
i.
keterampilan/kejuruan; dan
j.
muatan lokal.
(2)
Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a.
pendidikan agama;
b.
pendidikan kewarganegaraan; dan
c.
bahasa.
(3)
Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 38
(1)
Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan
oleh
Pemerintah.
(2)
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan
relevansinya
oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah
di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor
departemen
agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk
pendidikan
menengah.
(3)
Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan
dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
(4)
Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh
perguruan
tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan
untuk setiap program studi.
BAB XI
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Pasal 39
(1)
Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan,
pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses
pendidikan
pada satuan pendidikan.
(2)
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan
dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat,
terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Pasal 40
(1)
Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
a.
penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
b.
penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c.
pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d.
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan
intelektual;
dan
e.
kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan
untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
(2)
Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a.
menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis,
dan dialogis;
b.
mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu
pendidikan;
dan
c.
memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan
sesuai
dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Pasal 41
(1)
Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.
(2)
Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan
diatur
oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan
pendidikan
formal.
(3)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan
pendidik
dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin
terselenggaranya
pendidikan yang bermutu.
(4)
Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 42
(1)
Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan
jenjang
kewenangan
mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
(2)
Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan
dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi
yang
terakreditasi.
(3)
Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 43
(1)
Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan
berdasarkan
latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi
kerja
dalam bidang pendidikan.
(2)
Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki
program
pengadaan
tenaga kependidikan yang terakreditasi.
(3)
Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 44
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga
kependidikan
pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
pemerintah
daerah.
(2)
Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan
mengembangkan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakannya.
(3)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan
pengembangan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang
diselenggarakan
oleh masyarakat.
BAB XII
SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN
Pasal 45
(1)
Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana
yang
memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan
potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan
peserta
didik.
(2)
Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua
satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
peraturan
pemerintah.
BAB XIII
PENDANAAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pendanaan
Pasal 46
(1)
Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah,
pemerintah
daerah, dan masyarakat.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran
pendidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(3)
Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Kedua
Sumber Pendanaan Pendidikan
Pasal 47
(1)
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan,
kecukupan,
dan keberlanjutan.
(2)
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang
ada
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Dana Pendidikan
Pasal 48
(1)
Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi,
transparansi,
dan akuntabilitas publik.
(2)
Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Pengalokasian Dana Pendidikan
Pasal 49
(1)
Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan
minimal
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan
dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
(2)
Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
(3)
Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan
diberikan
dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4)
Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam
bentuk
hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)
Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB XIV
PENGELOLAAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 50
(1)
Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri.
(2)
Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk
menjamin
mutu pendidikan nasional.
(3)
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya
satu
satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan
menjadi
satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
(4)
Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
pendidikan,
pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas
penyelenggaraan
pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan
dasar
dan menengah.
(5)
Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah,
serta
satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(6)
Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola
pendidikan
di lembaganya.
(7)
Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat
(2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan
peraturan
pemerintah.
Pasal 51
(1)
Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen
berbasis sekolah/madrasah.
(2)
Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas,
jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
(3)
Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikasenbagaimana dimaksud pada
ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 52
(1)
Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah,
dan/atau masyarakat.
(2)
Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Badan Hukum Pendidikan
Pasal 53
(1)
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba
dan
dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
(4)
Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang
tersendiri.
BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 54
(1)
Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan
dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2)
Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan.
(3)
Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pasal 55
(1) Masyarakat
berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan
formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan
sosial,
dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2)
Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan
melaksanakan
kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan
pendanaannya
sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3)
Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara,
masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain
yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis,
subsidi
dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah
dan/atau
pemerintah daerah.
(5)
Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah
Pasal 56
(1)
Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan
pendidikan
dan komite sekolah/madrasah.
(2)
Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan
mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan
dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada
tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan
hirarkis.
(3) Komite
sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan
mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada
tingkat
satuan pendidikan.
(4)
Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XVI
EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI
Bagian Kesatu
Evaluasi
Pasal 57
(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan
secara nasional
sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada
pihak-pihak yang
berkepentingan.
(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program
pendidikan pada
jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis
pendidikan.
Pasal 58
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik
untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan.
(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program
pendidikan dilakukan oleh
lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan
sistemik untuk
menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap
pengelola, satuan,
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga
yang mandiri
untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Akreditasi
Pasal 60
(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan
satuan pendidikan
pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan
jenis
pendidikan.
(2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan
oleh Pemerintah
dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk
akuntabilitas publik.
(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
(4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Sertifikasi
Pasal 61
(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan
terhadap prestasi belajar
dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian
yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan
dan lembaga
pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai
pengakuan terhadap
kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji
kompetensi yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau
lembaga sertifikasi.
(4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XVII
PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN
Pasal 62
(1)
Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh
izin
Pemerintah atau pemerintah daerah.
(2)
Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan
kualifikasi
pendidik
dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan
pendidikan,
sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses
pendidikan.
(3)
Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan
pendidikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 63
Satuan
pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik
Indonesia
di negara lain menggunakan ketentuan undang-undang ini.
BAB XVIII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN
Pasal 64
Satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara
Kesatuan
Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat
menggunakan
ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan
Pemerintah
Republik Indonesia.
Pasal 65
(1)
Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat
menyelenggarakan
pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib
memberikan
pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga
negara
Indonesia.
(3)
Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan
di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga
pendidik
dan pengelola warga negara Indonesia.
(4)
Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang
diselenggarakan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai
dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB XIX
PENGAWASAN
Pasal 66
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite
sekolah/madrasah
melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua
jenjang dan
jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
prinsip
transparansi dan akuntabilitas publik.
(3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 67
(1)
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah,
sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana
dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling
banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)
Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21
ayat
(5)
dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(3)
Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor
dengan
melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
sepuluh
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
miliar
rupiah).
(4)
Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling
lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 68
(1)
Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik,
profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi
persyaratan
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau
pidana
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi,
dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak
memenuhi
persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun
dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)
Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk
dan
singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua
tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
(4)
Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang
tidak
sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara
paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 69
(1)
Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi,
dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling
lama
lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima
ratus
juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau
sertifikat
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3)
yang
terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau
pidana
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 70
Lulusan
yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik,
profesi,
atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan
jiplakan
dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda
paling
banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 71
Penyelenggara
satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah
daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling
lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu
miliar rupiah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar